Adsense Menu

Pengamanan NKRI
NKRI Sebagai Negara Maritim

Wilayah perbatasan yang meliputi wilayah daratan dan perairan merupakan manifestasi kedaulatan suatu negara. Letak strategis wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berada diantara dua benua yaitu benua Australia dan benua Asia serta diapit oleh dua samudera yaitu samudera Hindia dan Samudera Pasifik merupakan kawasan potensial bagi jalur lalu-lintas antar negara. Disamping itu Indonesia merupakan negara kepulauan (Archipelagic States) yaitu suatu negara yang terdiri dari sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling bersambung (Interconnecting Waters) dengan karakteristik alamiah lainnya dalam pertalian yang erat sehingga membentuk satu kesatuan.[1]
Sebagai negara kepulauan Indoneia memiliki ±17.505 pulau yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia dengan perbandingan luas daratan dan perairan yaitu 1:3. Dengan jumlah pulau yang banyak ternyata menimbulkan berbagai pemasalahan seperti kaburnya batas-batas wilayah negara (sengketa pulau sipadan-ligitan, sengketa blok Ambalat), penyelundupan barang dan jasa, pembalakan liar (Illegal Logging), Perdagangan manusia (Traffic King), Terorisme, maraknya kejahatan trans nasional (Transnational Crimes) serta eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Selain permasalahan diatas masih terdapat kekurang sigapan Pemerintah RI dalam menjaga integritas wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) indikasinya adalah terhadap +/- 17.505 pulau yang dipublikasikan selama ini belum didukung oleh data secara resmi mengenai nama dan posisi geografisnya. Terlebih, informasi tentang data pulau-pulau hingga saat ini berbeda-beda antara satu lembaga dengan lembaga lainnya.
LIPI menyebutkan ada 6.127 nama pulau pada tahun 1972, Pussurta (Pusat Survey dan Data) ABRI mencatat 5.707 nama pulau pada tahun 1987, dan pada tahun 1992, Bakosurtanal menerbitkan Gazetteer nama-nama Pulau dan Kepulauan Indonesia sebanyak 6.489 pulau yang bernama (Sulistiyo, Kompas, 28/02/2004). Perbedaan data tersebut mencerminkan bahwa Indonesia masih lemah dalam pengelolaan wilayah lautnya, karena dari 17.508 pulau yang diklaim Indonesia hanya beberapa persen saja yang sudah memiliki nama.
Sebagai negara berdaulat, Indonesia harus segera mendepositkan data-data pulau yang dimiliki sebagai bukti atau arsip negara. Hal ini penting mengingat bahwa, pulau-pulau yang telah didepositkan akan menjadi salah satu acuan atau landasan Indonesia dalam menyelesaikan sengketa perbatasan. Maka tidak heran selama ini banyak terjadi klaim wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonsia (NKRI) oleh negara tetangga yaitu Malaysia. Hal tersebut disebabkan oleh kondisi kedua negara yang sama-sama merupakan negara maritim yang mana wilayah negaranya terdiri dari wilayah perairan dan kedekatan wilayah antara kedua negara seringkali menyebabkan kaburnya batas-batas kedaulatan diantara RI dan Malaysia.
Sebagai contoh kaburnya batas wilayah negara di daerah entikong kalimantan barat dengan wilayah sabah dan serawak yang merupakan wilayah negara bagian Malaysia, masalah perbatasan wilayah antara Indonesia dan Malaysia di perairan sebelah Pulau Sebatik masih berlarut-larut, ditambah dengan masalah perairan di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan pasca sidang International Court and Justice (ICJ) tanggal 17 Desember 2002 dan adanya indikasi perekrutan warga negara Indonesia (WNI) menjadi anggota para militer Malaysia (Askar Wataniah). fenomena-fenomena yang telah diuraikan diatas disebabkan oleh Kondisi wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia yang kompleks. Permasalahan ini dapat dilihat dari tiga aspek yaitu:[2]

Wilayah perbatasan merupakan daerah yang kurang berkembang (terbelakang) yang disebabkan oleh:
• lokasi yang relatif terisolir/terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang rendah.
• rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat.
• rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (banyaknya jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal).
• langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan yang diterima oleh masyarakat di daerah perbatasan (blank spots).

Kawasan perbatasan merupakan wilayah pembinaan yang luas dengan pola penyebaran penduduk yang tidak merata. Sehingga, menyebabkan rentang kendali pemerintahan sulit dilaksanakan, serta pengawasan dan pembinaan teritorial sulit dilaksanakan dengan sinergis, mantap dan efisien.

Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan umumnya dipengaruhi oleh kegiatan sosial ekonomi di negara tetangga. Kondisi tersebut berpotensi untuk mengundang kerawanan di bidang politik. Apabila kehidupan ekonomi masyarakat daerah perbatasan mempunyai ketergantungan kepada perekonomian negara tetangga, maka selain dapat menimbulkan kerawanan di bidang politik juga dapat menurunkan harkat dan martabat bangsa.
Oleh sebab itu kawasan perbatasan merupakan salah satu aset negara yang harus dijaga dan dipertahankan dari segala bentuk ancaman dan tantangan baik yang datang dari dalam maupun dari luar negeri.

Wilayah perbatasan suatu negara yang meliputi wilayah daratan dan perairan merupakan kawasan tertentu yang mempunyai dampak penting serta peran strategis bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Wilayah tersebut memiliki keterkaitan yang erat dengan kegiatan di wilayah negara lain yang berbatasan dengan Indonesia, baik dalam lingkup nasional, regional (antar negara) maupun internasional.
Disamping itu wilayah perbatasan juga mempunyai dampak politis dan fungsi pertahanan dan keamanan nasional. Oleh karena peran strategis tersebut, maka penjagaan wilayah perbatasan Indoensia merupakan prioritas penting pembangunan nasional untuk menjamin keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi dalam praktek dilapangan terdapat hambatan ataupun ancaman yang seringkali merugikan bagi kepentingan bangsa Indonesia. Beberapa permasalahan yang menonjol di daerah perbatasan adalah sebagai berikut:[3]
1. Belum adanya kepastian secara lengkap garis batas laut maupun darat.
2. Kondisi masyarakat di wilayah perbatasan masih tertinggal, baik sumber daya manusia, ekonomi maupun komunitasnya.
3. Beberapa pelanggaran hukum di wilayah perbatasan seperti penyelundupan kayu /illegal logging, Illegal fishing, perdagangan manusia (Traffick King), penyelundupan narkoba dan lain-lain.
4. Pengelolahan perbatasan belum optimal, meliputi kelembagaan, kewenangan maupun program.
5. Eksploitasi sumber daya alam secara ilegal, terutama hasil hutan dan kekayaan laut.
6. Lemahnya kualitas dan profesionalisme aparatur negara (stake holders) baik di pusat maupun di daerah.
Peran sinergis dari lembaga-lembaga negara (Deplu, Dephan, POLRI) dan Kekuatan TNI yang didukung oleh Badan Koordinasi Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakorkamla RI) dengan departemen sejenis yang dimiliki oleh pemerintah negara-negara tetangga merupakan pos yang sangat strategis sebagai upaya dalam menjaga dan mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh sebab itu strategi pengembangan kawasan perbatasan yang berbasis koordinatif diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan diwilayah perbatasan yang pada tujuannya dapat menjaga dan mempertahankan keutuhan wilayah kedaulatan NKRI dari segala ancaman, hambatan dan tantangan baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Melihat realita yang terjadi terhadap kondisi wilayah perbatasan Indonesia yang semakin terancam maka langkah kongkret aktualisasi pilar-pilar strategis memperkuat kedaulatan wilayah NKRI adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan ketentuan pasal 25 A UUD 1945 yang berbunyi, “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. disini berarti instrumen negara yang terdiri dari Deplu. TNI, Polri, Departemen Pertahanan mempunyai kewenangan legislasi seyogyanya sinergis dan responsif atas permasalahan yang berkenaan dengan ancaman terhadap perbatasan dan kedaulatan NKRI ke dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Upaya ini dapat ditempuh dengan jalan mengkaji masalah perbatasan NKRI dengan instansi atau departemen lain yang terkait agar segera mengajukan RUU tentang wilayah perbatasan NKRI kepada DPR untuk segera dibahas dan ditetapkan sebagai undang-undang yang substansinya mampu mengakomodir segala kepentingan nasional bangsa Indonesia yang berkaitan dengan perbatasan wilayah NKRI yang meliputi wilayah daratan maupun perairan.
2. Merubah paradigma pola strategi pengembangan kawasan perbatasan yang hanya menekankan pada aspek keamanan (Security Approach) menjadi pola pengembangan kawasan perbatasan yang bersifat partisipatif untuk menciptakan keamanan dan kesejahteraan bagi masyarakat yang berada didaerah perbatasan baik dibidang politik, ekonomi, sosial/budaya, pertahanan dan keamanan. Hal ini dimaksudkan bahwa, Partisipasi dari para pihak (Pemerintah daerah, mayarakat, pelaku usaha, LSM/NGO yang bergerak di bidang perlindungan Sumber Daya Alam) diharapkan mampu menciptakan stabilitas nasional yang mantap dan dinamis sebagai modal dasar terciptanya pembangunan nasional dan wujud dari pelaksanaan tata pemerintahan yang baik (good governance).
3. Membangun startegi pengembangan kawasan perbatasan yang berbasis Multy stake holders participation. hal ini dimaksudkan untuk menempatkan peran serta dari warga negara tidak hanya sebagai obyek pembangunan akan tetapi juga sebagai subyek atau aktor penggerak pembangunan nasional yang besifat menyeluruh. Oleh sebab itu kerangka pembuatan kebijakan yang bersifat bottom-up akan memberikan dampak yaitu terciptanya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
4. Mengadakan kerjasama dengan Instansi/Departemen lain yang terkait untuk melakukan Pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat di kawasan perbatasan sangat diperlukan dalam rangka menanggulangi kemiskinan, meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat dalam segala aspek jasmani, rohani, dan sosial. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat selain dilakukan melalui subsidi pendidikan, (penanaman nilai-nilai wawasan nusantara, pendidikan bela negara) dan penyuluhan, juga harus diikuti dengan penyediaan infrastruktur dasar seperti penyediaan fasilitas kesehatan, pemukiman layak huni, air bersih, dan listrik serta tempat kegiatan usaha yang sesuai dengan sumber daya yang tersedia di lingkungannya.
5. Mengadakan kerjasama dengan aparat penegak hukum, Pemerintah Daerah, instansi/Departemen, LSM/NGO, dan masyarakat untuk membentuk badan pengawas daerah perbatasan serta mengoptimalkan pos-pos penjagaan dengan fasilitas (sarana dan Prasarana) yang memadai. Disamping itu peningkatan kualitas Sumber daya Manusia dan profesionalisme juga diperlukan guna meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
6. Urgensi peran Bakorkamla untuk berkoordinasi dengan Departemen Luar Negeri untuk mendorong dan mewujudkan pelaksanaan diplomasi yang lebih arif, objektif dan konstruktif sebagai landasan penerapan good neighbouring policy yang perlu dilakukan secara resiprokal dan komprehensif. Hal ini diperlukan mengingat substansi perbatasan, isu-isu sengketa wilayah juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor perbedaan kondisi sosial-budaya, ekonomi, serta kemampuan pengawasan terhadap wilayah perbatasan yang dimiliki kedua negara. Oleh karenanya, urgensi border dispute settlement dipandang penting mengingat pengaruhnya yang kuat terhadap stabilitas kawasan.
Implementasi pilar-pilar strategis pengembangan kawasan perbatasan yang bersifat partisipatif dan holistik yang dijalankan oleh segenap in strumen negara yang bersinergi dengan masyarakat diharapkan mampu meningkatkan peran serta dari masyarakat, LSM, dan instrumen negara dalam menjaga dan mempertahankan keutuhan wilayah dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
0 Responses

Post a Comment



 

© Copyright by Simbolon | Template by BloggerTemplates | Blog Templates at Fifa World